Dalam beberapa bulan terakhir misalnya, ketika media sosial menjadi ajang “mencari bakat” membeberkan persepsi pengetahuannya. Topik atau berita, tautan maupun status update sebuah akun menjadi ramai komen, argumen, bully yang tidak sedikit menjadi kasus serius dan tersandung tatanan hukum.
Apa yang akan kita lakukan dengan satu berita, tautan atau status yang tidak sesuai dengan (pendapat) anda? Banyak yang memutuskan unfriend, unfollow, menghapus berita atau komen, atau berupaya untuk menghindarinya. Tentu ini adalah sebuah cara proteksi seseorang, yang bukan tidak beralasan, mereka pasti memiliki alasan. Akan tetapi ketika upaya proteksi ini sengaja dilakukan karena ketidakcocokan atau tendensi kepentingan, mungkin ini adalah hal yang dapat menghambat seseorang berpikir kritis. Yang tidak diharapkan adalah memproteksi info dan tidak mau melihat aspek orang lain berpikir dalam menyampaikan ide, gagasan atau berita dengan data valid atau benar. Disinilah berpikir kritis kita akan bermasalah dan tidak tumbuh dengan baik. Critical thinking perlu untuk mengambil keputusan-keputusan penting.
Apakah kita sadar bahwa setiap situasi bisa dipandang oleh orang lain secara berbeda. There’s always two sides of a coin. Dan, bila tidak pernah membandingkan pendapat dengan orang lain, itu berarti kita hanya melakukan sebagian saja dari proses berpikir yang lengkap.
Gejala minimnya berpikir kritis juga dirasakan oleh 95 persen orang di Amerika. Survei yang dilakukan oleh Reboot Foundation mengatakan bahwa kurang dari 25 persen populasi bersedia mencari opini yang berbeda dengan opininya. Dan, hasil penelitian mengatakan bahwa di antara 25 persen orang yang bersedia mencari opini lain itu, ternyata hanya 1 persen yang benar-benar melakukannya. Padahal, mereka sendiri mengaku, hanya 30 persen dari berita di media sosial yang akurat. Dengan hasil riset seperti ini, tidak heran bila (ex: dalam situasi politik seperti sekarang ini) kebenaran semakin sulit sekali terkuak, apalagi dibahas dan dianalisa dengan akal sehat.
Sebenarnya di sekolah menengah dahulu (mudah2an sekarang masih), kita selalu dilatih untuk menyelesaikan persoalan dengan formula: “diketahui, ditanya, dan dijawab”. Ini sudah merupakan cara pikir yang lengkap. Kita tidak mungkin mendapatkan solusi bila tidak berbekal fakta yang cukup. Inilah syarat pertama critical thinking. Kita perlu menginvestigasi semua pendapat dan argumentasi seputar gejala yang sedang diteliti. Adanya perbedaan pendapat adalah kesempatan bagi kita untuk mempelajari setiap gejala dan fakta. Jangan lupa bahwa setiap manusia dipenuhi dengan bias-bias yang mempengaruhi kejernihan berpikirnya, apakah dalam kondisi emosional, rasional atau tingkat intelektual seseorang. Dalam. konteks berita atau informasi, kita juga bertanggung jawab untuk membobot kebenarannya. Satu hal yang perlu kita lakukan juga adalah memilih fakta yang relevan dengan masalah yang kita cari atau diskusikan.
Kita perlu konsisten untuk berpikiran terbuka dan obyektif sambil terus mempertajam pertanyaan untuk penyelesaian masalah. Pertanyaan yang tepat bisa menguakkan informasi yang masih terselubung dan mengecoh. Kita boleh mengambil keputusan yang cepat, kreatif, dan inovatif asalkan sudah melalui proses mempertanyakan fakta yang ada dan menggunakan metode berpikir dan lengkap. Kita pun perlu merefleksikan sebentar jawaban dari masalah yang kita cari, segala dampak positif dan negatifnya, sebelum dikomunikasikan ke masyarakat.
Berpikir kritis (critical thinking) juga harus diikuti dengan keterampilan komunikasi yang baik sehingga membuat suasana tetap kondusif walaupun memiliki nuansa perbedaan. Kita bisa belajar untuk lebih asertif dan bersikap lebih manis walaupun berbeda pendapat. Orang yang berpikir kritis juga perlu asertif sehingga informasi yang didapat akan lebih banyak dan bisa membantunya dalam pengambilan keputusan yang tepat dengan titik resiko yang terkendali.
Dalam marketing, kritik, pesan, komplain pelanggan, data pasar dan sebagainya dapat menuntun kita dalam menjangkau tujuan jangka panjang.Tentu tantangan dalam berkomunikasi dan berpikir kritis menjadi syarat untuk dilalui agar rancangan strategi benar-benar tumbuh dari kita yang mampu berpikir kritis, afektif dan asertif.
Source : Ivan M/marketing.co.id dengan perubahan secukupnya.